Seperti biasa Farhan, Kepala Cabang di sebuah perusahaan swasta terkemuka di Jakarta, tiba di rumahnya pada pukul 9 malam.
Tidak seperti biasanya, Fakhriyya, putri pertamanya yang baru duduk di kelas tiga SD membukakan pintu untuknya. Nampaknya ia sudah menunggu cukup lama.
“Kok, belum tidur ?” sapa Farhan sambil mencium anaknya.
Biasanya Fakhriyya memang sudah lelap ketika ia pulang dan baru terjaga ketika ia akan berangkat ke kantor pagi hari.
Sambil membuntuti sang Abi menuju ruang keluarga, Fakhriyya menjawab, “Aku nunggu Abi pulang. Sebab aku mau tanya berapa sih gaji Abi ?”
“Kok, belum tidur ?” sapa Farhan sambil mencium anaknya.
Biasanya Fakhriyya memang sudah lelap ketika ia pulang dan baru terjaga ketika ia akan berangkat ke kantor pagi hari.
Sambil membuntuti sang Abi menuju ruang keluarga, Fakhriyya menjawab, “Aku nunggu Abi pulang. Sebab aku mau tanya berapa sih gaji Abi ?”
“Lho tumben, kok nanya gaji Abi ? Mau minta uang lagi, ya ?”
“Ah, enggak. Pengen tahu aja” ucap Fakhriyya singkat.
“Oke. Kamu boleh hitung sendiri. Setiap hari Abi bekerja sekitar 10 jam dan dibayar Rp. 400.000,-. Setiap bulan rata-rata dihitung 22 hari kerja.Sabtu dan Minggu libur, kadang Sabtu Abi masih lembur. Jadi, gaji Abi dalam satu bulan berapa, hayo ?”
Fakhriyya berlari mengambil kertas dan pensilnya dari meja belajar sementara Abinya melepas sepatu dan menyalakan televisi.
Ketika Farhan beranjak menuju kamar untuk berganti pakaian, Fakhriyya berlari mengikutinya. “Kalo satu hari Abi dibayar Rp. 400.000,-untuk 10 jam, berarti satu jam Abi digaji Rp. 40.000,- dong” katanya.
“Wah, pinter kamu. Sudah, sekarang cuci kaki, tidur” perintah Farhan.
Tetapi Fakhriyya tidak beranjak. Sambil menyaksikan Abinya berganti pakaian, Fakhriyya kembali bertanya, “Abi, aku boleh pinjam uang Rp. 5.000,- enggak ?”
“Sudah, nggak usah macam-macam lagi. Buat apa minta uang malam-malam begini? Abi capek. Dan mau mandi dulu. Tidurlah”.
“Tapi Abi.”
Kesabaran Farhan pun habis. “Abi bilang tidur !” hardiknya mengejutkan Fakhriyya.
Anak kecil itu pun berbalik menuju kamarnya.
Usai mandi, Farhan nampak menyesali hardiknya. Ia pun menengok Fakhriyya di kamar tidurnya. Anak kesayangannya itu belum tidur.
Fakhriyya didapati sedang terisak-isak pelan sambil memegang uang Rp. 15.000,- di tangannya. Sambil berbaring dan mengelus kepala bocah kecil itu, Farhan berkata, “Maafkan Abi, Nak, Abi sayang sama Fakhriyya . Tapi buat apa sih minta uang malam-malam begini? Kalau mau beli mainan, besok kan bisa. Jangankan Rp.5.000,- lebih dari itu pun Abi kasih” jawab Farhan.
“Abi, aku enggak minta uang. Aku hanya pinjam. Nanti aku kembalikan kalau sudah menabung lagi dari uang jajan selama minggu ini”.
“lya, iya, tapi buat apa ?” tanya Farhan lembut.
“Aku menunggu Abi dari jam 8. Aku mau ajak Abi main ular tangga. Tiga puluh menit aja. Mama sering bilang kalo waktu Abi itu sangat berharga. Jadi, aku mau ganti waktu Abi. Aku buka tabunganku, hanya ada Rp.15.000,- tapi karena Abi bilang satu jam Abi dibayar Rp. 40.000,- maka setengah jam aku harus ganti Rp. 20.000,-. Tapi duit tabunganku kurang Rp.5.000,
makanya aku mau pinjam dari Abi” kata Fakhriyya polos.
makanya aku mau pinjam dari Abi” kata Fakhriyya polos.
Farhan pun terdiam. ia kehilangan kata-kata. Dipeluknya bocah kecil itu erat-erat dengan perasaan haru sambil meneteskan air mata . Dia baru menyadari, ternyata limpahan harta yang dia berikan selama ini, tidak cukup untuk “membeli” kebahagiaan anaknya.
0 komentar:
Posting Komentar